Hikayat Sebuah Cobek Batu
Alkisah pada tahun 2007 saya membeli cobek batu dari sebuah swalayan di kota Jogja. Cobek spesial? Bukan, hanya cobek biasa yang saya ambil karena harganya murah dan kelihatan simpel. Bahkan saya sudah lupa alasannya membeli cobek waktu itu.
Buat ukuran anak kos, cobek itu salah satu barang yang gak penting-penting amat. Kalau ada dapur bersama, biasanya pak/bu kos sudah menyiapkan sebuah cobek disana untuk keperluan menguleg sambel atau bumbu-bumbu. Lalu buat apa saya beli? Entah 😆
Cobek yang saya pilih termasuk ukuran kecil, hanya sekitar 20x15 cm. Sebenarnya kurang cocok untuk rumah tangga karena tidak bisa menguleg bahan dalam jumlah banyak sekaligus. Akibatnya, bumbu dan sambal sering tumpah-tumpah.
Bentuknya oval seperti telur, dan sampai tulisan ini dibuat saya belum pernah melihat ada yang jual cobek dengan bentuk persis sama. Di toko tempat saya beli dulu juga sudah tidak ada lagi, digantikan dengan model lain yang lebih modern dan cantik.
Uniknya, cobek ini tidak terlalu rapi. Bentuknya tidak simetris, banyak bagian yang miring dan tidak presisi seperti dipahat dengan tangan. Ini jadi spesial karena sekarang jarang sekali yang jual cobek handmade, rata-rata sudah dibuat dengan mesin.
Tapi di sisi lain, bentuknya yang ‘ngawur’ ini justru jadi ciri khas. Tidak akan pernah ada cobek dengan bentuk yang 100% persis. Kadang, saya merasa bangga hanya dari hal sederhana seperti ini.
Seiring waktu, cobek itu sudah sering saya pakai. Mulai dari membuat sambal favorit, menghaluskan bumbu, sampai geprek daging sapi buat empal. Guratan-guratan kasar dan tepian tajam di beberapa bagiannya sudah hilang. Cobek ini sekarang halus nan glowing.
Kadang ketika saya sedang menguleg sambel, saya merenungkan tentang waktu yang telah dihabiskan bersama cobek ini. Perasaan-perasaan di waktu yang lampau saat saya menguleg suatu bahan, mungkin sambil bercerita dengan orang lain, diskusi dengan istri, atau bahkan sambil ngomong sendiri.
Ada kalanya saya pernah menguleg sambel dengan meneteskan air mata. Mengingat kenangan-kenangan yang terjadi bertahun-tahun belakangan. Atau memikirkan kondisi kehidupan yang kian lama kian sulit dijalani.
Berbeda dengan saya, cobek batu ini masih akan menjalani tugasnya hingga bertahun-tahun ke depan. Mungkin bisa diwariskan ke anak dan cucu. Setidaknya sampai ia rusak dan tak dapat berguna sebagaimana mestinya, cobek batu ini akan selalu abadi. Menyimpan memori-memori kenangan dari peristiwa yang telah, sedang, dan akan saya lalui.